Monday, January 4, 2010

Arnold kena getahnya

Butuh setengah jam bagi Sandra untuk memaksa Arnold menjual kembali mantranya. Mereka sepakat, sangat beresiko memberikan mantra untuk bocah sejahil Arnold. Tindakan itu diambil setelah Milly yang pada saat bersamaan, ketika dia memungut bukunya, melihat seringai Arnold. Saat itu juga Milly mengadukannya tanpa belas kasihan.
Arnold jengkel dan bersihkeras tidak mau mengembalikannya, kecuali diijinkan mengganti meludahi Sandra dengan mencium pipinya dua kali. Sandra menolak, tapi atas saran Si Petung, dia pasrah juga.

“Boleh, asal kalian berdua berbalik badan!” pinta Sandra, kesal bercampur malu setengah mati.

Si Petung dan Milly tersenyum sebelum akhirnya berbalik badan, menatap apapun yang ada di depan mereka. Batang pohon ek yang membosankan dan serangga malam yang berkeliaran.

Sekarang saatnya memasuki Jalur Tikus.

Ada 1001 cara untuk memasuki dunia petualangan. Hampir mustahil untuk bisa dihapal satu persatu. Tapi Milly tenang-tengan saja. Dia bilang, dia sudah hapal hampir setengahnya. Tidak mau kalah mendengar pengakuan Milly, Arnold mengatakan kalau seribu cara telah terekam dengan baik di otaknya. Hal itu tentu membuat segalanya akan berjalan lebih mudah., pikir Si Petung.

Si Petung memutuskan beraksi terlebih dulu sebagai contoh. Dia memperagakan tikus got yang paling jorok dan mencicit tak keruan, mengitari Jalur Tikus sebanyak tiga kali. Seketika itu juga dia menghilang seperti kepulan asap yang tersedot exhaust fan yang tertanam dalam lubang. Sungguh menakjupkan sekaligus menggelikan melihat tingkah Si Petung sebelumnya. Dalam hati, Arnold berdoa semoga saja Sandra yang anggun luar biasa tidak mencontoh SI Petung.

Sandra memang tidak melakukannya. Dia mulai bergerak lemah gemulai, berlenggak lenggok sambil sesekali mengepakkan kedua tangannya. Gaunnya yang merah jambu melambai seperti bulu-bulu halus burung flamingo. Kakinya jenjang, menjinjit bergantian sambil terus memutar. Arnold berkomentar nyaring agar terdengar Sandra, bahwa yang dilakukannya adalah menirukan seekor angsa yang sedang memamerkan keindahannya. Tapi Sandra yang masih menyisakan kekesalan padanya, mengoak kalau dia sedang menirukan seekor bebek yang sedang belajar terbang.

Kini tiba giliran Arnold membuktikan rekaman seribu cara memasuki dunia petualangan. Dia gelisah dan tidak ada gunanya terus melirik Milly meminta petunjuk. Milly sedang terlalu sibuk, menatap langit-langit hutan. Arnold sungguh menyesal sudah berbohong, karena sejujurnya, baru kali itu dia mengetahui ada seribu satu cara yang satu pun dia tidak tahu, kecuali yang baru saja diperagakan Si Petung dan Sandra. Tidak mau harkat dan martabatnya jatuh, dia segera menyiapkan pantatnya yang lebar, sedikit merendah mencium tanah. Tapi Milly yang melihatnya berteriak ngeri.

“Kenapa?” tanya Arnold. Sangat ketakutan hingga dia lupa untuk memperbaiki posisi pantatnya yang sangat memalukan.

“Kau dilarang menirukan cara yang sama,” kata Milly dramatis. “Kecuali kau sudah benar-benar siap menjadi bebek betulan, paham!”

“Oh!” Arnold tersentak. Sampai-sampai dia hampir saja keceplosan mengucapkan terima kasih. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

Milly menutup mulutnya rapat-rapat. Sebuah pertanda buruk karena akan sulit membuatnya membuka mulut untuk memberi petunjuk. Arnold mengaku telah berbohong akhirnya. Sayang pengakuan saja tidaklah cukup mendapat belas kasihan Milly. Sebagai usaha pertamanya, mula-mula Arnold berulang kali mengedikkan mata sampai pegal minta ampun. Merasa gagal, dia menyenggol lengan Milly seolah sedang berusaha mengajaknya berkenalan. Arnold frustasi hingga akhirnya dia mengatupkan kedua telapak tangannya mirip tapak Budha, memohon dengan amat sangat.

“Oke...oke,”

Mendengar Milly mengabulkannya, Arnold menghembuskan nafas lega.

“Berhubung aku masih punya sedikit rasa kasihan, meskipun tindakanmu sudah membuat rambutku berantakan, aku akan memberimu petunjuk dasar. Yang harus kau lakukan adalah menirukan tingkah binatang... ya seperti itu... bebek sangat cocok untukmu. Sayang semua ada aturan dan urutannya. Si Petung menirukan tikus got karena zodiaknya leo,” Milly mulai memainkan perannya dengan menyakinkan, sangat meyakinkan malah. Dia memutuskan inilah saatnya mengajarinya agar tidak sok dan nakal. “Lambang zodiak leo adalah singa, dan dia sedang ingin melihat tikus yang paling tolol. Si Petung melakukannya dengan sangat baik.”

“Bagaimana dengan Sandra?” Arnold bertanya bego.

“Oh, dia ya... setelah leo, urutannya Pisces. Tahu dong lambangnya apaan, benar!” potong Milly, bahkan sebelum Arnold benar-benar membuka mulut ‘tidak tahu’. “Pisces itu ikan, sepertinya ikan rawa-rawa. Nah saat itu sang ikan ingin melihat bebek paling jelek, musuhnya, untuk ditertawakan.”

“Lalu sekarang urutannya apa?” tuntut Arnol tidak sabar.

Sebenarnya dia mulai curiga karena wajah Milly memerah seperti menahan tawa sekuat tenaga. Tapi sangat mustahil membantahnya saat itu, mengingat otak Milly terlalu cerdas untuk di ajak berdebat. Apalagi otak Arnold hanya terisi setengah, itu pun untuk hal-hal yang tidak berguna pula.

“Nah sekarang urutannya adalah,” Milly pura-pura berfikir, “Kau lihat bintang Sagitarius di atas sana?” jari telunjuknya menunjuk ke langit gelap tanpa bintang.

“Tidak ada apa-apa di sana,” jawab Arnold bingung setelah beberapa kali mendongak untuk memeastikan memang tidak ada apa-apa di langit, kecuali... gelap.

“Kau tidak melihat. Tapi aku melihatnya dengan sangat jelas,” tukas Milly. “Itu bintang Sagitarius, berlambangkan kerbau dungu.”

“Sepertinya bukan kerbau,” kata Arnold. Seingat otaknya yang sempit, dia pernah melihat salah satu zodialk berlambang campuran binatang berkaki empat dengan manusia, entah di mana. Sambil mengingta-ingat, matanya bersirobok dengan kegelapan, dan itu menyadarkannya agar segera memperingatkan teman seperjalanannya itu. “Milly, apa kau tidak takut? Kita berdua saja di hutan, sadar dong???”

Tapi Milly tidak sadar apalagi mendengarnya.” Memangnya kau tahu lambang Sagitarius itu apa?”

“Aku tidak tahu, ayo cepeet deh!”

“Oke, tadi aku ngomong sampai mana?”

“Kerbau dungu,” jawab Arnold setengah hati.

“Benarkah?”

“Iya!” koak Arnold hilang kesabaran. “Kau bilang bintang takserius itu lambangnya kerbau dungu!”

“Okey... jangan sewot gitu dong,” Milly bergaya sebentar, merapikan rambutnya yang kusut seolah mengingatkan itu adalah hasil karya Arnold yang spektakuler. “Nah, kau sedang beruntung, Arnold! Sagitarius sedang murung, dan dia ingin melihat binatang berkaki dua, dan bertangan panjang. Coba pikirkan baik-baik.”

Arnold memutar otak sementara Milly menunggu dengan sabar.

“Kurasa, gorilla masuk akal,” jawab Arnold tidak percaya.

“Tepat!” teriak Milly seolah Arnold baru saja menjawab teka-teki Sphinx yang terkenal sangat sulit.

Maka Arnold mengitari Jalur Tikus dengan satu tangan di atas kepala, dan tangan yang lain di antara pahanya. Tidak ingin kesempatan ini lepas begitu saja, Milly menyarankan bunyi-bunyian aa...uu... dan meminta Arnold menekuk kedua kakinya dengan sempurna, membentuk huruf ‘o’ sambil berjalan.

Arnold merasa diperas dan diperdaya. Tapi ancaman Milly tidak main-main. Bisa saja Arnold dikirim ke habitat asli gorilla di afrika, atau berkumpul dengan bocah-bocah idiot yang lebih nakal darinya jika tidak menuruti Sagitarius.

Setelah tiga putaran, Arnold lenyap. Tawa Milly pun langsung meledak. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena dia mendadak sadar sedang tertawa sendirian di tengah hutan Larangan yang sunyi. Dia segera berlenggok bak seekor angsa, sama sekali tidak anggun karena tergesa-gesa seolah sedang digiring ke kandang.

Sunday, January 3, 2010

Insiden : Arnold Bertingkah Konyol

Ehem.... flasback sebentar. Awalnya konsep cerita Si Petung adalah 500 kata dan di sana ada pesan moral yang sangat jelas yang ingin gw sampaikan. JANGAN JADI ANAK NAKAL. Tapi sepertinya makin lama makin melenceng dari tujuan utama. Ada beberapa hal dalam tulisan yang harus disikapi dengan bijak. Dan gw berharap orang itu adalah Anda yang sekarang sedang membaca......................................................
“Mengerikan,” komentar Milly ketika keempatnya mengelilingi liang kecil mirip lubang hewan pengerat. “Jadi, ini yang disebut Jalur Tikus?”

“Benar. Jadi langsung saja kita mulai kalau begitu,” jawab Si Petung merentangkan kedua tangannya.

“Tunggu dulu. Apa tidak sebaiknya mereka dibekali dengan Mantra Standar Tingkat Pemula?” saran Sandra, menoleh ke Arnold dan lima senti di atas ubun-ubun Milly.

Milly menolak mentah-mentah tanpa perlu berfikir. "No way!"

Sepertinya Milly masih ingat kejadian yang menimpa rambutnya saat menggunakan Sisir Suka-Suka. Saat menghadiri ulang tahun Willy, dia terpaksa menggunakan wig karena kepalanya botak dan sangat menyesal harus berbohong pada orang tuanya yang berkomentar, "rambutmu sangat indah nak."

“Sungguh?” tanya Si Petung. Milly meyakinkannya dengan anggukan mantap, lalu melirik dan langsung berpaling dari tatapan Sandra, yang mendengus dan memutar bola mata seperti bukan Sandra. “Yang harus kau ketahui adalah bahwa kita akan berpetualang... Maksud Petung... di dunia petualangan tidak sama persis. Setidaknya akan ada lebih banyak bahaya yang mengancam,” dia berhenti sejenak untuk melihat reaksi Arnold yang merepet ketakutan. “Tapi sudahlah, kalian aman bersama Petung.”

Sandra melipat tangannya dan berkata sinis, “Petung tidak akan mendampingi gadis ini sepanjang hari, kan?”

Tapi Si Petung tidak menghiraukannya. Sedikit banyak dia tahu; dari nada bicaranya, Sandra sedang terbakar cemburu pada Milly. Sesuatu yang sangat... sangat tidak perlu dibahas lebih lanjut!

“Dan kau, Arnold?” Si Petung menanyai Arnold yang sudah sedikit merasa tenang.

“Dia butuh lebih banyak mantra kalau melihat tampangnya,” kata Sandra sambil menarik lengan Arnold. Mereka berdua menjauh beberapa langkah dari Si Petung dan Milly yang mengawasi.

Arnold yang baru kali itu menyentuh kulit halus Sandra, wajahnya langsung berseri-seri seolah mengatakan akhirnya-Sandraku-tahu-apa-yang-kurasakan-dan-kuinginkan.

Semalaman, sikap Sandra terhadap Arnold memang tergolong cuek. Di mata Sandra, Arnold hanyalah bocah kecil berotak sepuluh kali lebih mesum dari umumnya anak berusia sepuluh tahun. Dan di hati Sandra, curahan kekagumannya hanya untuk Petung seorang, titik

Akhirnya hanya Arnold yang dibekali Mantra Standar Tingkat Pemula, jilid pertama.
Awalnya Arnold mengira ini akan memakan banyak waktu untuk mempelajarinya. Dan dia sama sekali tidak keberatan karena berarti akan ada banyak waktu bersama Sandra. Lebih lama lebih bagus, pikiran kotor Arnold menguasainya.

Tapi betapa terkejutnya dia; Sandra menyobek dengan sentakan keras bagian pinggir kaos Arnold dan menyimpan potongannya. Dia bilang potongan itu untuk mahar atau alat pembayaran, pengganti koin yang lazim digunakan untuk membeli mantra.

Di dunia petualangan, kau cukup membeli Mantra di toko Mantra. Atau kalau sedang beruntung, kadang ada penyihir yang bersedia menjual mantra yang mungkin sudah ketinggalan jaman atau jarang dipakai. Dan jika suatu saat kau mendapati Mantra yang tidak berfungsi dengan benar atau lebih parahnya lagi bisa melukai diri sendiri, berarti Mantra yang dibeli sudah kadaluarsa. Mudahnya, mempelajari Mantra sama dengan membeli sepotong coklat bertabur kacang di duniamu!

Dan ternyata belum sampai di situ saja keterkejutan Arnold; tiba-tiba Sandra meludahi muka Arnold dengan kasar, tanpa memberi penjelasan terlebih dahulu.

“Apa yang kau lakukan!” teriak Arnold. Hatinya hancur seketika. “Kau jahat padaku, kenapa?”

“Maaf Arnold. Tapi seperti itulah bentuk transaksinya,” jawab Sandra, singkat, padat dan sama sekali tidak menjelaskan apapun bagi Arnold yang terlanjur sakit hati.

“Rasakan,” cetus Milly cekikikan. “Belum juga sampai ke dunia petualangan. Sudah kena semprot!”

Arnold langsung ngambek, lari dan duduk sedih membelakangi mereka. SI Petung menghampirinya dan membisikkan sesuatu padanya, “jangan sedih. Sekarang Arnold bisa mencoba mantranya.”

Si Petung lalu berfikir, ingin mencarikan ide ringan untuk menghiburnya. Tapi rupanya Arnold mendapatkan ide cemerlang lebih cepat dari Si Petung.

Arnold menyeringai nakal. Mulutnya komat-kamit dengan sendirinya, dan Si Petung sepertinya mengetahui apa yang sedang Arnold lakukan.

“Mantra Penumbuh Rambut...” keluh Si Petung pasrah.

Apa yang terjadi bisa ditebak. Semua yang hadir di situ, kecuali Arnold, rambutnya mulai memanjang.

Milly menjerit dan mengosongkan tas ranselnya untuk menutupi kepalanya. Tapi lama kelamaan tidak muat juga karena rambut pirangnya menebal. Si Petung kerepotan menghentikan teriakan Sandra yang rambutnya sudah mirip sapu lidi berwarna perak. Rambutnya seperti meleleh dan setika Sandra kalang kabut berlarian, semua daun kering, ranting patah dan kotoran binatang bersarang di rambutnya.

“Apa yang kau lakukan!” Sandra membentak Si Petung. “Lakukan mantra pembatal!”

“Lupa, tidak ingat, atau barangkali Petung sudah menjualnya,” kata Si Petung menyesal. Sejumput rambut beruban muncul dari kelapanya yang licin. “Lain kali kalau Sandra memberikan mantra, pastikan itu bukan satu-satunya mantra yang Sandra miliki.”

Biasanya setiap Mantra berpasangan dengan mantra pembatal. Jadi kalau terpaksa kau menjual mantramu untuk membeli mantra yang lebih canggih, pastikan kau juga memiliki mantra yang sama. Atau kalau memang sangat terpaksa menjual mantra satu-satunya, lari dan bersembunyilah, karena siapapun akan sangat sakit hati diludahi. Ngomong-ngomong soal meludah, aku tidak pernah menyarankan kau melakukannya di duniamu, janji?

”Aku pikir dia tidak akan senakal itu!” teriak Sandra. Mukanya tertutup rapat, nyaris seperti terkurung sangkar perak. “Oh tidak, ini mengerikan!”

“Oi yang di sana. Jangan berdebat!” jerit Milly dari jauh. Dia terjatuh, rambutnya terlalu berat untuk ditopang kepalanya.

Arnold terpingkal-pingkal dan sepertinya itu sudah cukup dan sangat keterlaluan.
Maka, semua sudah kembali normal akhirnya. Arnold berhasil membatalkan mantranya, namun dia tidak berhasil menghindari ganjaran atas kenakalannya.

“Jangan sekali-kali!” Sandra menjewer telinga Arnold, “Kau gunakan Mantra Penumbuh Rambut lagi!”

“Untuk apa coba?” gerutu Milly memunguti buku-bukunya yang tercecer. “Ini konyol! Dan aku bersumpah tidak akan membeli apapun yang kalian jual!”

“Sudah-sudah,” kata Si Petung, menggaruk kepalanya. “Arnold pasti tidak akan mengulanginya lagi.”

Arnold mengangguk, sangat dalam hingga sepertinya dia bukannya menyesal tapi sedang menyembunyikan tawa kurang ajarnya.

Thursday, December 31, 2009

9. Melewati jalur tikus

Selang beberapa menit kemudian, mereka bertiga sudah berada di sebuah tenda. Tenda itu ajaib. Dibangun hanya dengan mantra sederhana milik Si Petung. Warnanya norak dengan gambar beraneka bunga, buah-buahan dan sayuran segar seperti yang kau temui di pasar. Dan hanya ada satu pintu masuk, hingga Arnold berharap tidak akan ada yang menyergap mereka saat berada di dalam. Karena itu artinya mereka terjebak. Walau bagaimana pun, tenda itu mampu memberikan kenyaman. Hawa dingin hutan tidak menembus hingga ke dalam, dan beberapa perabotan dan perlengkapan masak telah siap sedia.
Tetap saja, hal ini menjadi sangat aneh bagi Arnold. Bukan tentang tenda yang mendadak muncul, melainkan jalan pikiran Si Petung. Kalau tahu bagaimana membuat tempat singgah dengan mudahnya, lalu untuk apa mereka bersusah payah mencari pondok yang kini bersembunyi di balik bukit, pikir Arnold.

“Karena biasanya anak-anak yang memintanya terlebih dahulu,” itu alasan Si Petung.

Jadi itulah yang diminta Sandra; membuat tenda untuk bermalam sementara mereka bertukar berita.

Sandra, gadis yang sudah berusia 17 tahun tentu saja sangat marah disebut anak kecil. Namun demi kekagumannya pada Si Petung terpelihara dengan baik, dia mendadak tuli dan tetap menjadi penggemar beratnya. Entah apa yang bisa dikagumi dari Si Petung, sebuah pertanyaan besar yang sangat sulit didapatkan jawaban yang masuk akal. Hanya menimbulkan kecemburuan, dan siapa pun pasti akan menganggap dunia ini sangat tidak adil, terlebih bagi Arnold.

Perempuan bersyal merah itu berasal dari dunia yang kau tidak akan pernah tahu jika tidak membaca kisah ini hingga tuntas.

Dunia itu bernama Dunia Petualangan.

Dan di sana, seperti yang diceritakan Sandra, sedang terjadi malapetaka. Penyihir gendut yang menyebut dirinya sebagai ratu Greede Olive sedang merencanakan sesuatu. Menutup semua jalur tikus yang menghubungkan duniamu dengan Dunia Petualangan. Gawat, bukan? Alasannya, karena dia tidak ingin manusia seperti Si Petung keluar masuk dan mempelajari ilmu sihir. Sandra menduga masalah ini juga berkaitan erat dengan penculikan dua anak raksasa di hutan Ergo, serta perekrutan bocah-bocah malang untuk diangkat menjadi anak asuh yang nakal.

Akhirnya Sandra menutup ceritanya dengan satu kalimat yang sangat anggun di mata Arnold, “Jalur tikus Hutan Larangan yang masih tersisa.”

“Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Jadi coba kau ulangi sekali lagi,” pinta Arnold yang bukannya menyimak cerita, justru menyimak wajah Sandra yang ekspresif.

“Oh, tidak Arnold. Ada yang lebih mendesak daripada kabar buruk tentang si Greede Olive. Kau tidak lupa, bukan? Sepupumu, Willy,” kata Si Petung.

Kali ini dia membuat Arnold ternganga. Ternyata Si Petung tidak sepelupa tampangnya kalau menyangkut keselamatan Willy.

“Willy?” seru Sandra.

“Siapa!” teriak Arnold reflek.

“Bukan apa-apa,” kata Si Petung tenang. Dia bangkit dari duduknya dan mengambil tiga buah cangkir (hitungan versi Si Petung tentu saja empat buah cangkir) dari sudut ruangan. Di sebelahnya, di sebuah perapian, bertengger ceret besi yang sedang bersiul-siul; tanda air telah mendidih. “Ini hanya suara ceret. Dia memang suka menyanyi rock n roll. Kopi?”

Si Petung menuangi cangkir Sandra dengan susu madu rasa stroberi. Namun ketika sampai di cangkir Arnold, yang keluar minuman beralkohol.

“Oh, ini tidak baik untuk kesehatan, Arnold?” maka dia menggantinya dengan minuman yang sama dengan Sandra.

“Aku tidak memintanya,” Arnold jelas merasa tidak bersalah. Karena dia memang tidak mengucapkan satu patah katapun tentang minuman. Dia terlalu trauma dengan nyanyian ceret yang jelek sekali.

“Tapi kau menginginkannya,” Si Petung geleng-geleng kepala dan menuang sendiri cangkirnya dengan Knocout—jenis minuman beralkohol hasil fermentasi lada dalam jumlah besar. Beruntung Arnold tidak mengenal jenis minuman itu. Karena selain menghangatkan, minuman itu bisa sangat memabukkan.

Saat Sandra meminum cangkirnya, mata Arnold tidak pernah lepas dari gerakan bibirnya yang mencecap sisa manisnya susu madu rasa stroberi tersebut, sampai Arnold lupa daratan. Arnold meminum cangkir berisi Knocout milik Si Petung. Arnold pun langsung pingsan di tempat.

“Nah, sepertinya ini lebih baik,” kata si Petung yang entah kenapa mampu mengangkat tubuh gemuk Arnold ke atas ranjang.

Jadi, jelaslah sudah. Berdasarkan keterangan ciri-ciri fisik Willy; badan ceking seperti cacingan, dengan kulit tanpa bintik-bintik, berwajah bulat telur dengan mata biru cemerlang. Hidung mancung menggemaskan hingga kau ingin terus mencubitnya. Lalu tingginya sama dengan Arnold, namun tidak selebar Arnold yang terlalu gendut untuk ukuran bocah seusianya. Oh, Sandra juga bilang, rambut Willy berwarna hitam legam, selalu rapi dan sehalus sutra. Soal tingkah laku, karena Sandra pernah berpapasan dengan Willy, dia mengatakan kalau Willy anak yang baik, sopan dan tahu tatakrama. Menurutnya hanya dua kekurangannya , Willy terlalu sensitive dan keras kepala.

“Wah, secara umum dia tipe anak yang manis kukira,” komentar Sandra. “Tapi aku tetap menjadi penggemarmu, Petung.”

“Lalu kemana dia pergi, atau kenapa dia bisa sampai ke dunia petualangan?” tanya Si Petung. Baru kali ini dia terlihat serius dan berwibawa, tanpa meninggalkan kepikunannya. Sebenarnya kalau dia tidak ceroboh, seharusnya dia tidak menulis dengan sihirnya; cara memasuki dunia petualangan di semua perabotannya.

Sandra beranjak dan duduk di sofa. Membenamkan dirinya hingga nyaris tenggelam saking empuknya. Tapi dari sana terdengar suara lelah, “kalau kau tanyakan itu padaku, aku tidak tahu. Terakhir kali yang kuingat dia bilang ingin bertemu raksasa. Dasar anak ingusan, tidak tahu kalau raksasa bisa membunuhnya dengan sekali bersin.”

“Ada orang di dalam?” sebuah suara yang terkenal bergaung di luar tenda. Si Petung kaget bukan main. Itu tidak mungkin suara Milly. Milly sedang tidur atau sedang dinasehati agar tidak bergaul dengan Petung, pikirnya.

Si Petung dan Sandra berhambur keluar. Di depannya berdiri bocah perempuan menggigil kedinginan. Wajahnya terlihat pucat saat Sandra menggumamkan mantra untuk memanggil kawanan kunang-kunang.

“Milly, masuk,” kata Si Petung, menyampirkan selimut bulu beruang usang di bahunya.
Milly membawa tas ransel, sangat besar sampai dia terbanting saat meletakkannya di atas sofa dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Malam sudah sangat larut hingga saat itu Si Petung membiarkan Milly tertidur pulas sambil mengigau “maafkan aku Willy, ini semua salahku.”

Mendengar igauan itu, Si Petung menangis. Bukan salah Milly, bagaimana pun juga, keingintahuan bocah kecil di Sideview berawal dari hubungan mereka yang melibatkan sesuatu yang seharusnya tidak masuk akal. Namun bagi bocah seusia Willy, Milly dan Arnold dan yang lainnya, sosok raksasa atau kurcaci adalah dunianya. Jadi setelah menceritakan semua permasalahannya pada Sandra, mereka berkemas keesokkan harinya.

“Kita akan ke dunia petualangan kalau kalian benar-benar mantap,” kata Si Petung

“Bagaimana dengan sekolah kalian?” tanya Sandra. Kali itu dia memakai gaun tebal berwarna merah muda.

“Sekolah libur. Dan kuharap untuk selamanya. Milly kau membawa apa di tasmu?” kata Arnold.

Milly tidak menjawab, tapi membuka dan menujukkan barang bawaannya.
Arnold langsung menepuk keningnya, sangat keras. “Buku, sepertinya tidak ada gunanya di sana.”

“Cuma takut aku akan mati kebosanan di sana.”

“Sungguh berlebihan,” kata Arnold dingin.

“Kau tahu sendiri kan, buatku dunia sihir itu...ya aku percaya ...mungkin itu ada... tapi aku tidak ingin menjadikanku pemalas. Tinggal membaca mantra, memakai jimat atau bahkan menyanyikan syair kuno nan konyol untuk mengorek kuping. Atau menjadikanku nenek sihir keriput bertopi lancip dan selalu berhidung jelek. Apa lagi sapunya, sungguh nasib orang-orang seperti itu.”

Mendengar ini, Sandra memalingkan muka, mengibaskan rambutnya hingga menampar muka Arnold yang langsung merona merah. Awalnnya Sandra mengira Milly gadis yang patut dikasihani. Tapi perasaan itu musnah digantikan dengan rasa sinis atau dalam sebuah syair kuno nan konyol akan terdengar seperti ini :

Sang langit, kenapa kau ciptakan Milly hanya untuk menghina syairmu...
Sang langit, kenapa kau ciptakan syair untuk dihina Milly...
Sang langit, Kenapa oh kenapa ada syair dan juga Milly...

8. Tersesat di hutan Larangan

Mereka memutuskan pulang ke pondok dengan tergesa. Bodohnya, Arnold membiarkan si Petung yang rada pikun memandu jalan mereka. Alhasil, alih-alih pintu pondok yang terlihat, justru belantara hutan yang memotong langkah mereka.

“e...hemm... sepertinya kita sedikit salah jalan,” komentar si Petung sambil mengingat-ingat jalan pulang. Ini mustahil, karena baru seminggu yang lalu dia pulang dan melewati pondoknya begitu saja karena dikira bangunan itu kandang sapi.
“Kau bilang sedikit?” ulang Arnold kesal, dan sadar betul mereka sedang tersesat. “Kalau aku tidak salah, seharusnya kita mengambil jalan ke arah timur dan kita sudah terlalu jauh berjalan ke arah barat!”

“Tentu saja kau tidak salah sama sekali.” Si Petung berbalik badan. “Sepertinya pondok Petung memang ada di belakang kita. Di balik bukit itu, kau lihat, Arnold?”

“Lalu kenapa kau tidak bilang dari awal!”

“Arnold tahu kan, Petung ini pikun?” bela Si Petung tidak mau disalahkan.

Kesal, Arnold menghentakkan kakinya ke lantai... maksudku, tanah. “Oh Tuhan, pondok sendiri sampai lupa, tapi kau bahkan tidak pernah lupa kalau kau itu pikun. Nah, lalu kita berada di mana ini?”

Di sana, hutan sunyi senyap hingga Arnold sepertinya baru saja mendengar bunyi aneh dari balik celana Si Petung. Pohon yang tumbuh besar-besar dan berkeropeng. Di jalan masuk itu sebuah papan petunjuk berpendar terang karena sekelompok kunang-kunang sedang mengadakan rapat darurat di atasnya.

“Coba, biar Petung tebak,” kata Si Petung, selagi mereka memasuki hutan lebih dalam, dan lebih dalam lagi.

“Ini Hutan Larangan,” kata Arnold, yang memutuskan menunggu Si Petung menebak-nebak sama saja dengan memintanya menghitung satu sampai sepuluh.

Si Petung memang tidak pernah sekolah, tapi tetap saja tidak wajar dan keterlaluan. Karena setelah menghitung angka satu, dia langsung loncat ke angka tiga. Parahnya lagi, dia berani bersitegang dan tidak mau mengakui kalau jari tangannya ada sepuluh, melainkan sebelas!

“Huh, kalau Arnold sudah tahu, kenapa juga masih bertanya sama Petung,” gerutunya.
“Kau tidak melihat papan penunjuk yang barusan kita lewati? Jelas di situ tertulis; Masuklah dan kau akan …mati berdiri.” Arnold sengaja memelankan dua kata terakhir yang terdengar menakutkan. Menyadari Si Petung tidak bisa membaca, dia akhirnya memakluminya. Pantas saja Si Petung tidak pernah takut keluar masuk hutan Larangan lantaran selama ini dia tidak pernah tahu akan peringatan itu. “Tapi ini sangat aneh, kau menceritakan kalau Hutan Larangan itu penuh dengan...”

“Ya, benar, di sini ada bermacam-macam burung pemangsa, rusa malam, reptil buntung, kadang anjing hutan albino juga berkeliaran, tapi kurasa mereka sedang tersesat.... sedikit salah jalan maksud Petung, lalu...”

Arnold merinding dan berharap Si Petung berhenti menyebutkan semua binatang penghuni hutan Larangan, saat itu juga.

“...Monyet gila, dan lain sebagainya... aku tidak bisa menyebutkannya satu per satu, maaf.”

“Kau sudah menyebutkan semuanya... sangat lengkap. Dasar manusia ajaib!” dengus Arnold sangat keras, tapi Si Petung tidak mendengar.

Namun hutan Larangan memang sedang tidak seperti biasanya.

Mereka berdua selamat, kecuali terpelanting sejauh lima meter bukan kondisi yang sama membahayakan dengan menasehati segerombolan monyet gila.

Rupanya, dari tanah di depan mereka baru saja terjadi ledakan keras mengepulkan asap kebiruan, yang membuat mereka berdua terpental berlawanan arah. Si Petung ke kiri, dan Arnold tentu saja ke kanan.

“Uhuk...uhuk!” Seorang perempuan cantik keluar dari balik asap yang menipis. “Sungguh jodoh uhuk!...aku sedang mencarimu Petung, uhuk! oh aku benci harus melewati jalur tikus uhuk!. Terlalu banyak asap, bikin tenggorokan gatal!”

Si Petung berdiri dari jatuhnya yang paling menyakitkan. Kedua kakinya tertekuk ke depan, tapi itu bukan masalah. Dia sudah terbiasa mengalami kecelakaan yang paling dahsyat sepanjang karirnya sebagai petualang sejati.

“Oh kau, Sandra Buldoc”

Rupanya Si Petung mengenalnya.

Dia perempuan paling cantik yang pernah Arnold lihat, meski dengan sudut pandangan terbalik. Rambutnya berwarna perak, berkilau tertimpa sinar rembulan. Wajahnya putih lonjong dan berbinar-binar meski sepertinya dia membawa kabar buruk. Tubuhnya langsing dalam balutan sutra berwarna.... Arnold takjup, warna pakaiannya bekerlap-kerlip seperti lampu disco!

Perempuan itu malah berlari kencang menghampiri Si Petung, bukannya Arnold yang tersangkut di akar pohon ek paling tua (sepertinya pohon ek lebih populer ketimbang pohon kamboja di dunia fantasi). Tampak sangat khawatir, perempuan lembut itu mengeluarkan sapu tangan dari udara dan memeriksa setiap jengkal tubuh Si Petung.

“Cukup, terima kasih. Bukan Petung yang harus Sandra khawatirkan,” kata Si Petung. “Tapi anak itu...”

Sepuluh meter dari tempat Si Petung jatuh, Arnold sudah berhasil berdiri mantap dan tampak tegar, lengkap dengan senyuman paling menawan yang dia miliki. Dia berharap mendapatkan perlakuan yang sama dari Sandra, yang di matanya seperti ratunya bidadari. Dan Si Petung hanyalah debu yang tidak terlihat.

“Dia baik-baik saja, kok,” kata Sandra acuh. "Aku sangat peduli padamu, Petung... sayang."

Dan Arnold ingin muntah, tidak yakin dengan arti kata 'sayang' yang Sandra ucapkan.

Sunday, December 27, 2009

7. Makan Malam Berakhir Malapetaka

Di pondok reot Si Petung, mereka memang riang, dibuat kenyang oleh makanan yang tidak pernah habis meski kau meraup semua roti yang ada di meja dengan dua tangan sekaligus atau kau menjadi anak yang paling bermulut lebar sedunia sekalipun. Kecuali Willy yang hanya berdiam diri memandang segumpal besar roti panggang di depannya. Ada pikiran lain yang membuatnya enggan menyentuh, apalagi menggigit dan mengunyah. Padahal baik Arnold maupun Milly, perut mereka__seharusnya__sudah tidak mampu menampung makanan barang sesuap.
Si Petung baru menyadari ada ketidakberesan itu ketika menawarkan sup kentang spesial pakai daging onta, yang berada begitu dekat dengan piring roti panggang Willy, namun tidak secuilpun mata Willy melirik tertarik ke sup tersebut.

“Kenapa?” tanya Si Petung mengerutkan alisnya yang putih tipis.

Mulut Willy seolah baru saja diolesi lem tikus. Dia terus membisu, berfikir hingga kau mungkin mengira dia sedang kerasukan hantu bisu atau sedang bermeditasi entah untuk tujuan apa.

“Cukup! terima kasih,” seru Arnold, yang rupanya sudah tidak tahan ketika makanan lain bergantian muncul begitu dia menghabiskan satu potong. “Ini lezat, dan .... wahhhh buanyak sekali. Hah andai saja perutku sebesar perut raksasa... pasti... pasti minta__tolong ambilkan susu, Milly?”

“Ambil sendiri dong, manja amat jadi orang,” jawab Milly kesal.

Arnold mengambil segelas susu yang kemudian dari meja itu muncul gelas lain. Kali ini sepertinya berisi jus durian karena berwarna putih kental dan tiba-tiba Willy segera memencet hidungnya rapat-rapat. Willy benci buah durian.

“Petung, sebenarnya apa yang terjadi dengan raksasa di Hutan Larangan?” tanyanya dengan suara mendengung tidak jelas.

“Kalau tidak salah, seminggu yang lalu kita baru saja pergi ke dokter gigi,” sela Arnold sambil menenggak habis susunya. “Dokter bilang, kau malas menggosok gigi, jadi pantas saja kalau semua gigimu busuk semua.”

“Masalahnya ini kan beda,” bantah Willy. “Kita ini ngomongin gigi raksasa.”

“Justru itu,” Arnold tidak mau kalah, dan melanjutkannya seolah hanya dia yang berhak bicara, “karena tidak ada orang yang menjual sikat gigi sebesar gagang sapu, makanya dia tidak pernah gosok gigi.”

“Cukup, cukup...” Milly mencoba menengahi sebelum Willy berhasil membuka mulut untuk membela diri. “Kalau menurutku, semua mahluk yang mempunyai gigi pasti pernah merasakan yang namanya sakit gigi, okey?”

Si petung yang dari tadi diam saja, entah tekun menyimak perdebatan mereka__atau bisa jadi karena kekenyangan__angkat bicara.

“Petung tahu apa yang kau pikirkan, Willy. Aku kenal kau sejak kau masih segini,” katanya sambil menggambarkan seberapa tinggi badan Willy saat itu dengan tangannya. “Kau ingin melihat raksasa itu, bukan?”

Pertanyaan itu kontan membuat Willy bergairah, Arnold menjatuhkan paha kalkun panggang yang baru diangkatnya sejengkal dari piring. Namun yang tidak masuk akal adalah tingkah Milly yang justru tertawa terbahak. Willy menduga dia mulai sinting atau mabuk jus durian, tidak mendengarnya dengan jelas atau... barangkali ketiga-tiganya.

“Kurasa kau salah, Petung sayang, kau salah mengenal orang,” jawab Milly meremehkan, membuat Willy tersinggung. Bagaimanapun juga, Willy sudah merasa sangat dekat dengan Si Petung, dan dia senang dengan hubungan baik mereka meski tidak jarang harus menelan ejekan Ares yang mengatakan mereka satu spesies menjijikan. Dan Willy dibuat semakin geram ketika Milly menambahkan padanya, “Aku sangsi kau berani melihat raksasa, bahkan sebelum benar-benar melihatnya.”

“Kau meremehkanku!” teriak Willy. “Kalau begitu... aku menantangmu!”

Dia beranjak dari duduknya, hampir menjatuhkan kursinya dan menutup pintu pondok dengan kasar setelah mengucapkan selamat sore alakadarnya pada Si Petung yang tampaknya membisu saking kagetnya. Si Petung belum pernah melihat Willy seberang itu, dan anehnya, Milly mendadak menangis... Arnold makin dibikin pusing tujuh keliling.

“Kenapa malah kau yang menangis?” tanya Arnold sambil melipat tangannya begitu erat.

“Benar,” kata Si Petung tidak yakin sambil membelai bahu Milly. “Kalau aku jadi Willy, sepertinya aku butuh... yah bahu siapapun yang mau menampung air mataku. Yang kau katakan barusan itu—“

“Sungguh keterlaluan!” sambung Arnold kejam.

Setelah beberapa saat kemudian, ketika tangisan Milly tidak cukup mengganggunya untuk berbicara, dia berkata, “Aku kaget dan bingung... Aku melakukannya hanya karena aku tidak ingin ada lagi topik tentang raksasa!”

“Lalu apa urusannya denganmu, coba?”

“Kalau dia bilang ingin melihat, maka dia akan berusaha sekuat tenaga membuktikannya!” seru Milly, air matanya bercucuran membasahi pipinya yang kemerahan. "Itu sangat berbahaya, dan kita masih kecil!"

"Kurasa dia tidak akan pernah mengajakmu berpetualang, jangan berlebihan deh," kata Arnold tanpa belas kasihan.

“Jadi, ini salahku,” gumam Si Petung. “Arnold, sudah__ternyata aku tidak cukup mengenalnya, kau benar Milly...”

Keadaan menjadi hening total setelah tidak terdengar isak tangis Milly. Di luar pondok, angin sudah mulai terasa basah. Desirannya menyeramkan, seperti rintihan raksasa yang sedang kesakitan andai kau bisa ikut mendengarkannya. Langit yang biasanya berbintang, kali itu gelap gulita, dan menyadari malam hari terlalu berbahaya bagi Arnold dan Milly untuk pulang sendiri-sendiri, akhirnya Si Petung memutuskan akan mengantar mereka hingga selamat ke rumah mereka masing-masing.

Satu jam kemudian, Si Petung dan Arnold tiba di depan gerbang besi rumah Willy, setelah sebelumnya mengantar Milly dengan susah payah karena harus menyelundupkannya lewat cerobong asap perapian. Orang tuanya sudah semalaman berjaga di depan pintu dengan wajah, yang satu marah, yang satu seperti kehabisan air mata.

Mereka berdua membeku cukup lama karena ada yang tidak beres; jendela kamar Willy menyala dan dari sana terlihat bayangan hitam besar menyeramkan. Rambutnya seperti ular-ular kecil yang menggeliat ke segala arah. Tangannya memegang sesuatu seperti tulang kaki binatang. Tambah lagi, cara berjalannya yang ganjil; sebentar berhenti, sebentar bergerak cepat, menghilang lalu muncul lagi.

"Ini di luar dugaanku. Sungguh berita buruk," kata Si Petung.

"Ini sih bukan berita buruk, tapi buruk sekali," komentar Arnold sma sekali tidak membantu keadaan.

"Apa sebaiknya aku menjelaskan semuanya pada bibimu, mamanya Willy?" tanya Si Petung ragu dan berharap Arnold mengatakan itu adalah ide paling konyol yang pernah di ucapkannya.

Namun Arnold menjawab, "harus!"

Si Petung bergetar, bukan karena udara dingin yang kelewatan, melainkan bayangan Mrs. Maria, mamanya Willy yang murka sedang berseliweran di benaknya.

Bau kemurkaan rupanya menguar lewat kisi-kisi kecil pintu rumah Willy, dan Arnold segera menarik tangan Si Petung untuk meninggalkan tempat itu.

"Kayaknya tidak untuk sekarang ini, percuma," kata Arnold bijak.

Wednesday, December 23, 2009

Tips terindex google

akhirnya gw menulis tips terindex google yang paling ampuh ketika novel fantasi gw gak berjalan mulus.
awalnya gw lagi ales nulis... dan saking malesnya, apa aja gw tulis. memang topik masih berkisar tentang dunia novel fantasy. tapi yang bikin gw terkejut adalah saat gw gugling... TUING numero umo.


langsung aja begini caranya; mudah, efisien, dan gak perlu cari2 tips yang lain. cukup satu dan terima kasihlah pada takdir anda nyangkut di blog gw ini.

ini blog ini memang cukup ancur. dibilang ancur banget juga gak apa2 sih.

perhatikan : JUDUL dan kalimat pertama harus seirama...bahasa gampangnya, gak beda jauh. misal ; lo mau kasih judul : malam tak berbintang. nah pada bais pertama, pas nulis postingan itu lo tulis.... malam ini malam tak berbintang. atau malam tak berbintang, ada apa denganmu....
swer, rada ngaco....tapi terbukti ampuh!
tambahan nih... berhubung postingan yang satu ini jauh dari tema blog gw yang dunia fantasy. alhasil masih kalah sama yang lain pas gw masukin tag judul di atas.. jadi yang menyerah

Daftar novel fantasi lokal

eng ing eng.....gw mo nge-list novel2 yang pernah gw baca. yang dapet urutan pertama berarti yang paling OK

nah, ini dia yang pertama. selamat buat Dian K....tahu dah kepanjangannya apa. yang pasti novelnya gw baca terus mengalir tanpa bikin gw nyeletuk kok begini begitu..... dan yang paling gw suka itu angkotnya yang bisa terbang... wuiiiihhhh asikkkk....
kalo ceritanya gimana? standar lah ..belum ada yang baru. Masih berkisar pada benda pusaka yang ternyata si tokoh utama punya senjata yang Ok punya. tahu dech bener ato kagak ulasan nyeleneh gw ini hihihihihi....yang pasti gw gak nyesel numpuk buku yang satu ini. judulnya kalo gak salah .....Zauri : Sang Legenda Amigdaglus

Dan yang kedua adalah Xar & Vittacharm / Vichattan ......
(berasa merek pembalut)
nah. ceritanya di sini kebanyakan ceweknya. hebat hebat lagi. sayangnya mereka dalam kondisi lemah setelah serangan tiba tiba dari musuh kegelapan mereka. tahu dah namanya siapa. yang pasti mirip sama si Voldy... item berkerudung. awalnya dia mati tapi bangkit lagi dan balas dendam untuk menguasai jagat raya. untungnya empat bocah cilik mewarisi tahta cahaya... apa tahu dah namanya. akhirnya mereka ditugaskan (takdir sih katanya) untuk membangunkan hewan....gak maen maen, hewannya ini keramat dan bisa terbang....

teknik bertempur dunia X&V sangat mengesankan kalo para pembaca bisa membayangkan warna warni tenaga dalam mereka ketika bertempu. sepertinya kalah dah Avatar hua hua hua

kok jadi ngelantur kayak resensi ya... ok ...gooddd job.

paling sebel paling pada pada format tulisan yang kayak ketombe, kecil-keciiiillllll. marginnya juga kelewat mefet, berasa mo tumpah ke pinggir buku...
oh iya, Cover...top markotob!

sayangnya gw nyari cerita bukan tampilan luar. itu yang bikin X&V dapet predikat no core duo....

yang ketiga....Mantra aji....

wahhh langsung pada melotot nih pembaca blog..
kenapa Mantra Aji dapet bronze???
soalnya gara-gara dihujat habis di forum. akhirnya gw bisa kelar saking penasarannya dan berhubung sudah tiga perempat jalan akhirnya ya lanjut... dan ternyata perut gw brasa melilit gara-gara ketawa abis....lucu banget (bukan ceritanya, tapi kwalitas segala-galanya) Ancur.....

yang selanjutnya : nggak adil kalo gw masih nerusin. secara Mantra aji sebenernya paling jebot. tapi oke lah kita lanjutkan....
ZZZZZZZZZZZZZZZ.....ngantuk . udah ah!!!

Tuesday, December 22, 2009

Pengumuman buat para penulis lokal khususnya fantasy freak

tulissan sebelumnya, sorry banget....terkesan kurang ngehargai karya orang lain ya khusus yang review... janagn kuatir tar dech gw bikin yang apik hehehe

Mereview Sang Penunggang Kuda

Yang bener sih judulnya Sang Penunggang Petir. Salah satu karya lokal yang kebetulan banget gw beli pas diskon di bandung. Welll......gw beli bukan karena harganya mlorot, ato karena kualitas novelnya OK. Tapi lebih karena demi kesenangan gw membeli novel fantasy lokal (catt : kalo ada duit sekalipun tipis)


Tapi di sini gw bukan mo bicara soal kesenangan gw tersebut, melainkan pengin sedikit kasih komentar setelah baca novel tersebut. Meskipun,,,, gak kelar satu bab bacanya __ karena keburu ngebaca Sahara, gw mo kasih catatan kecil pokoke.

Buku bergambar monster lawan jagoan itu jujur aja kurang ngena segmentasi usia ke gw. Terlalu anak kecil buat gw sih... gw sukanya yang lebih dewasa, ato gampangannya yang rada berat lah ceritanya. apapun itu, gw salut Terbit yang penting itu, soal kualitas seiiring waktu penulis pasti akan memperbaikinya.

kalo cara p[enulisannya gw agak bosan dengan pendeskripsian anatomi tubuh yang dibanding bandingin ama tokoh yang lain. hampir semua.... badan di A dua kali lipat dari tubuh si B. hulitnya lebih kuning dikit dari si C. masalahnya adalah gw belum tentu bisa gambarin sendiri tinggi dan sekuning apa tokih yang jadi pembanding itu. kesannya gw sebagai pembaca kayak lagi baca website yang di tendang ke web lain eh di tendang lagi dst sampai gw tutupo buku.

trus illustrasi gambar di dalam novel itu , lentara sekali kayak kejar tayang....serius dikit kek. gw aja macanya merem melek!

nah, gak adil dong kalo gw jelek-jelekin mulu. kesannya ngiri banget dech gw. bener gw iri sobbbbbbb.....

NOvel Fantasy Lokal yang bagus

ya, gw mo ngomongin bikin novel fantasy yang bagus menurut gw akhirnya. ini asli dari gw... jadi kalo ada yang gak setuju langsung aja tutup windows, matiinn komputer, kalo ngenet di warnet jangan lupa bayar ama Bossss


Pertaa tema : kudu Orisinilllllll

ini susahnya buat mereka yang dah berjibun buku referensi. pasti cerita dah gak orisinil. tapi malangnya, mereka yang kebetulan gak makan novel, yang kebetulan dappet tema orisinil.... tapi selidik punya selidik eh dah pernah ada tuh terbit. ngomongin soal novel yang pada terbit, ada gak istilah noverl yang dah terbenam? gubrakkk....ngaco.

keDUA : masuk ke inti cerita ; bikin dunia univer imaji sendiri.

usahakan lain dari yang lain. kayak kalo umunya karakter biasa menggunakan tangan kanan buat pegang pedang. di dunia lo, pegang pake tangan kanan disebutnya kidal hahahaha tar ada ayang marah nih kalo ngomongin logikanya mana. bodo amat lah yang penting kan ada ulasannya, lo jabarin dech kenapa biasa pake tangan kiri. misal soalnya di sana kalo cebok pake tangan kanan hua huaaaaa

na itu dari segi budaya, kalo binatangnya gimana boz? lo isi aja binatang ciptaan sendiri.....kayak kebo buat narik kereta bukan kuda. senjatanya gan???? oh senjata lo pake apa aja, masah di kasih tahu.....ntar gak orisinil lagi hehehehe

yang selanjutnya : karakter.
hindari pemakaian karakter tokoh yang dah umum.
kayak jagioan gak usah cakep2 dah tapi mampu membuat pembaca gemas. kayak jagoan yang suka dandan tapi bisa mindahin gunung.... masuk akal gak sih????

lanjut, yang keberapa nih... empat!!!!

pengen nyiptain musuh???? enemei????
yang terang-terang aja sob...jangan Dark-darkkan....dah umum. musuhnya dibikin yang suakep n cantik, sakti mandraguna ....tapi innalillahi keji abis, suka hisap darah....twilight dong.....

terakhir, dan yang paling penting...jangan banyak berimajinasi.... soalnya novel lo gak bakalan kelar kalo terlalu liar!!!! CAMKAN ITU!!! harus ada batasan kalo gak nyesel novel lo gak terbit terbit.